BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Kesulitan Belajar
1.
Pengertian
Kesulitan Belajar
merupakan sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan
yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan,
bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi
matematika.[1]
Kesulitan belajar adalah suatu
gejala yang nampak pada anak ditandai adanya prestasi atau hasil belajar yang
rendah serta berada di bawah norma yang ditetapkan.
Blassic dan Jones mengatakan bahwa kesulitan belajar adalah terdapatnya suatu jarak antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang nampak sekarang (prestasi aktual). Anak yang mengalami kesulitan belajar itu adalah anak yang mempunyai intelegensi normal, tapi menunjukkan satu atau beberapa kekurangan yang penting dalam proses belajar.
Kesulitan atau hambatan dalam kegiatan belajar bersifat fisiologis, psikologis, dan sosial. Banyak definisi tentang kesulitan belajar tetapi secara umum dapat dikemukakan empat kriteria, (1) kemungkinan adanya disfungsi otak; (2) kesulitan dalam tugas-tugas akademik; (3) prestasi belajar yang rendah jauh di bawah kapasitas inteligensi yang dimiliki; dan (4) tidak dimasukkan sebab-sebab lain seperti karena tunagrahita, gangguan emosional, hambatan sensoris, ketidaktepatan pembelajaran, atau karena kemiskinan budaya.
Blassic dan Jones mengatakan bahwa kesulitan belajar adalah terdapatnya suatu jarak antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang nampak sekarang (prestasi aktual). Anak yang mengalami kesulitan belajar itu adalah anak yang mempunyai intelegensi normal, tapi menunjukkan satu atau beberapa kekurangan yang penting dalam proses belajar.
Kesulitan atau hambatan dalam kegiatan belajar bersifat fisiologis, psikologis, dan sosial. Banyak definisi tentang kesulitan belajar tetapi secara umum dapat dikemukakan empat kriteria, (1) kemungkinan adanya disfungsi otak; (2) kesulitan dalam tugas-tugas akademik; (3) prestasi belajar yang rendah jauh di bawah kapasitas inteligensi yang dimiliki; dan (4) tidak dimasukkan sebab-sebab lain seperti karena tunagrahita, gangguan emosional, hambatan sensoris, ketidaktepatan pembelajaran, atau karena kemiskinan budaya.
Secara garis besar
kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, (1) kesulitan
belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan (2) kesulitan belajar akademik
(academic learning disabilities).
Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan
motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan
belajar dalam penyesuaian perilaku sosial. Kesulitan belajar akademik menunjuk
pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan
kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan
ketrampilan dalam membaca, menulis, dan/ atau metematika. Kesulitan belajar
akademik dapat diketahui oleh guru atau orang tua ketika anak gagal menampilkan
salah satu atau beberapa kemampuan akademik. Sebaliknya, kesulitan belajar yang
bersifat perkembangan umumnya sukar diketahui baik oleh orang tua maupun oleh
guru karena tidak ada pengukuran-pengukuran yang sistematik seperti halnya
dalam bidang akademik.
B.
Diagnosis Kesulitan Belajar
Menurut Webster diagnosis yaitu proses menentukan hakekat
daripada kelainan atau ketidakmampuan dengan ujian dan melalui ujian tersebut
dilakukan suatu penelitian yang hati-hati terhadap fakta-fakta untuk menentukan
masalahnya. Sedangkan menurut Harriman dalam bukunya Handbook of Psychological
Term, diagnosis adalah suatu analisis terhadap kelainan atau salah penyesuaian
dari simptom-simptomnya. Dapat disimpulkan bahwa diagnosis adalah suatu cara
menganalisis suatu kelainan dengan mengamati gejala-gejala yang nampak dan dari
gejala tersebut dicari faktor penyebab kelainan tadi.[2]
1.
Prosedur Diagnosis
a. Identifikasi
Sekolah yang ingin
menyelenggarakan program pengajaran remedial yang sistematis hendaknya
melakukan identifikasi untuk menentukan anak-anak yang memerlukan atau
berpotensi memerlukan pelayanan pengajaran remedial. Pelaksanaan identifikasi
dapat dilakukan dengan memperhatikan laporan guru kelas atau sekolah
sebelumnya, hasil tes inteligensi yang dilakukan secara masal atau individual,
atau melalui instrumen informal, misalnya dalam bentuk lembar observasi guru
atau orang tua. Berdasarkan informasi tersebut, sekolah dapat memperkirakan
berapa jumlah anak yang memerlukan pelayanan pengajaran remedial.
b.
Menentukan
Prioritas
Tidak semua anak yang
oleh sekolah dinyatakan sebagai berkesulitan belajar memerlukan pelayanan
khusus oleh guru remedial, lebih-lebih jika jumlah guru remedial masih sangat
terbatas. Oleh karena itu, sekolah perlu menentukan prioritas anak mana yang
diperkirakan dapat diberi pelayanan pengajaran remedial oleh guru kelas atau
guru bidang studi; dan anak mana yang perlu dilayani oleh guru khusus.
Anak-anak berkesulitan belajar yang tergolong berat mungkin perlu memperoleh prioritas utama untuk memperoleh
pelayanan pengajaran remedial yang sistematis dari guru khusus remedial.
c.
Menetukan
Potensi
Potensi anak biasanya
didasarkan atas sekor intelegensi. Oleh karena itu, setelah identifikasi anak
berkesulitan belajar dilakuakan, maka untuk menentukan potensi anak diperlukan
tes inteligensi. Tes inteligensi yang paling banyak digunakan adalah WISCR
(Wechsler Intelligence Scale For Children- Revised) (Anastasi, 1982:251). Jika
dari hasil tes tersebut anak memiliki skor IQ 70 ke bawah, maka anak semacam
itu dapat digolongkan ke dalam kelompok anak tunagrahita. Anak tunagrahita
tidak memerlukan pelayanan pengajaran remedial di sekolah biasa tetapi seluruh
program pengajaran harus disesuaikan dengan potensi anak tersebut. Jika hasil
tes inteligensi menunjukkan bahwa anak memiliki skor IQ 71 sampai 89, maka anak
semacam itu tergolong lamban belajar. Yang dapat digolongkan anak berkesulitan
belajar ialah yang memiliki skor IQ rata-rata atau lebih, yaitu paling rendah
skor IQ 90.[3]
d.
Menentukan
penguasaan bidang studi yang perlu diremediasi
Salah satu
karakteristik anak berkesulitan belajar adalah prestasi belajar yang jauh di
bawah kapasitas inteligensinya. Oleh karena itu, guru remedial perlu memiliki
daya tentang prestasi belajar anak dan membandingkan prestasi belajar tersebut
dengan taraf inteligensinya.
e.
Menentukan gejala kesulitan
Cara
anak mempelajari suatu bidang studi sering dapat memberikan informasi
diagnostic tentang sumber penyebab yang orisinal dari suatu kesulitan. Pada
langkah ini guru remedial perlu melakukan observasi dan analisis cara anak
belajar. Gejala kesulitan tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam
menentukan diagnosis, yang selanjutnya dapat di gunakan sebagai landasan dalam
menentukan strategi pembelajaran yang sesuai.
f.
Analisis berbagai faktor yang terkait
Guru
remedial perlu melakukan analisis terhadap hasil- hasil pemeriksaan ahli- ahli
lain seperti psikolog, dokter, konselor, dan pekerja sosial dan mengaitkan
mereka dengan hasil observasi yang di lakukan sendiri. Guru remedial perlu
memiliki pengetahuan dasar tentang berbagai bidang ilmu yang terkait dan dapat
menjalin suatu bentuk kerjasama multidisipliner.
g.
Menyusun rekomendasi untuk pengajaran remedial
Berdasarkan
hasil diagnosis yang secara cermat ditegakkan, guru remedial dapat menyusun
suatu rekomendasi penyelenggaraan program pengajaran remedial bagi seorang anak
berkesulitan belajar. Rekomendasi tersebut mungkin dapat dalam bentuk suatu
program pendidikan yang diindividualkan, yang pelaksananya perlu dievaluasi
lebih dahulu oleh tim yang disebut Tim Penilai Program Pendidikan Individual
(TP3I)(Kitano dan Kirby, 1986 :150).
2. Prinsip Diagnosis
a.
Terarah pada perumusan metode perbaikan
Diagnosis
hendaknya mengumpulkan berbagai informasi yang bermanfaat untuk menyusun suatu
program perbaikan atau program pengajaran remedial. Ada dua tipe diagnosis,
diagnosis etiologis (etiological diagnosis) dan diagnosis terapetik
(therapeutic diagnosis). Diagnosis etilogis merupakan diagnosis yang bertujuan
untuk mengetahui sumber penyebab orisinal dari kesulitan belajar. Diagnosis ini
umumnya kurang bermanfaat untuk merumuskan program pengajaran remedial karena
mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan penyakit yang lama di derita oleh
seorang anak. Diagnosis terapetik merupakan diagnosis yang berkaitan langsung
dengan kondisi anak pada saat sekarang dan sangat bermanfaat untuk menyusun
program pengajaran remedial. Diagnosis ini berusaha untuk mengumpulkan
informasi tentang kekuatan, keterbatasan, dan karakteristik lingkungan anak
sekarang. Mengingat kesulitan belajar memiliki latar belakang yang kompleks
maka informasi mengenai kondisi fisik, sensorik, emosional, dan lingkungan
perlu mendapatkan perhatian.[4]
b.
Diagnosis harus efisien
Diagnosis
kesulitan belajar sering berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Evaluasi
rutin, termasuk evaluasi psikologis, dapat memberikan informasi diagnostic yang
berharga. Diagnosis yang di dasarkan atas hasil – hasil evaluasi yang di
lakukan secara rutin di sekolah dapat di golongkan ke dalam taraf diagnosis
umum (general diagnosis). Diagnosis
umum ini bermanfaat untuk menyesuaikan program pembelajaran kelompok – kelompok
anak secara umum. Di samping itu, diagnosis umum juga dapat memberikan
informasi yang berguna untuk menyesuaikan program pembelajaran yang di dasarkan
atas individualitas anak dan dapat pula membantu menemukan anak yang memerlukan
analisi lebih rinci tentang kesulitan belajar mereka. Diagnosis kesulitan
belajar yang di tegakkan atas hasil evaluasi semacam pemeriksaan medis di
golongkan pada taraf diagnosis analitis (analytical
diagnosis). Diagnosis analitis, terutama diagnosis medis-neurologis,
bermanfaat untuk menentukan lokasi pada otak yang menyebabkan kesulitan
belajar,sehingga dengan demikian dapat di jadikan landasan dalam menyesuaikan
program pengajaran remedial yang sesuai dengan keadaan anak. Diagnosis yang
ditegakkan atas hasil evaluasi secara lebih cermat semacam itu dapat
digolongkan ke dalam diagnosis studi kasus (case-study
diagnosis). Diagnosis studi kasus sangat bermanfaat untuk menentukan metode
pengajaran yang lebih khusus yang sesuai dengan kondisi anak.
c.
Penggunaan catatan kumulatif
Catatan
kumulatif (cumulative records) di buat sepanjang tahun kehidupan anak di
sekolah. Catatan tersebut dapat dapat memberikan informasi yang sangat berharga
dalam pengajaran remedial. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai landasan
untuk menentukan pengelempokan yang sesuai dengan tingkat kesulitan belajar
anak.
d.
Valid dan reliable
Dalam
melakukan diagnosis hendaknya digunakan instrumen yang dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur (valid) dan instrumen tersebut hendaknya juga yang dapat diandalkan (reliable).
e.
Penggunaan tes baku
Tes
baku adalah tes yang telah di kalibrasi, yaitu tes yang telah teruji
validitasnya dan reliavibilitasnya. Tetapi, tidak demikian halnya dengan tes
prestasi belajar yang umumnya buatan guru. Menyusun tes baku lebih sulit dan
memerlukan biaya tinggi bila dibandingkan tes hasil belajar biasa.
f.
Penggunaan prosedur informal
Meskipun
tes – tes baku umumnya memberikan informasi yang lebih tepat dan efesien,
penggunaan prosedur informal sering memberikan manfaat yang bermakna. Dari
observasi informal sering dapat di peroleh informasi yang bermanfaat bagi
penyusunan program pengajaran remedial.
g.
Kuantitatif
Keputusan
– keputusan dalam diagnosis kesulitan belajar hendaknya di dasarkan pada pola –
pola sekor atau dalam bentuk angka. Informasi kuantitatif juga memungkinkan
bagi guru untuk mengetahui keberhasilan pengajaran remedial yang diberikan
kepada anak.
h.
Diagnosis dilakukan secara berkesinambungan
Diagnosis
dilakukan secara berkesinambungan untuk memperbaiki atau meningkatkan
efektivitas dan efisiensi program pembelajaran remedial.
C.
Pemecahan Kesulitan Belajar
a. Pendidikan integratif
Adalah pendidikan yang menempatkan anak
luar biasa belajar bersama anak normal dalam satu kelas (Sub-Direktorat PSLB
(1992: 3)). Barbara Clark (1983: 404) menginterpretasikan pendidikan integratif
sebagai pendidikan yang berupaya (1)
mengintegrasikan anak luar biasa dengan anak normal. (2) mengintegrasikan
pendidikan luar biasa dengan pendidikan pada umumnya. (3) mengintegrasikan dan
mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi, jasmani, dan intuisi. (4)
mengintegrasikan manusia sebagai makhluk individual yang sekaligus makhluk
sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak anak luar biasa yang belajar
bersama anak normal di SD tetapi mereka tidak mendapatkan pendidikan yang luar
biasa (Mulyono Abdurrahman dan Nafsiah Ibrahim,1994: 60) dari berbagai jenis anak
yang luar biasa tersebut yang tergolong berkesulitan belajar adalah 16,52%. [5]
Untuk melaksanakan pendidikan
integratif diperlukan dua langkah
penting. Pertama, diciptakan iklim
belajar koperatif yang diselingi iklim belajar kompetitif yang selektif.
Langkah kedua, menyelenggarakan PPI
(Program Pendidikan Individual) bagi anak berkesulitan belajar dan anak luar
biasa lainnya.
b. Interaksi koperatif dalam kegiatan
pembelajaran
Menurut Johnson dan johnson (1984;
10) ada empat elemen dasar dalam pembelajaran koperatif, yaitu (1) saling
ketergantungan positif (2) interaksi tatap muka
(3) akuntabilitas individual dan (4) keterampilan menjalin hubungan
interpersonal. Dalam inetraksi koperatif
guru menciptakan suasana belajar yang mendorong anak-anak yang saling
membutuhkan yang bisa disebut saling ketergantungan positif.
Interaksi
tatap muka diperlukan karena anak-anak sering merasa lebih mudah belajar
dari sesama daripada belajar dari guru. Dan memungkinkan tersedianya sumber
belajar yang bervariasi yang dapat mengoptimalkan tujuan belajar anak yang
berkesulitan belajar. Akuntabilitas
individual adalah penilaian prestasi
individual yang berpengaruh terhadap penilaian prestasi kelompok. Tiap anggota
kelompok harus tahu teman yang memerlukan bantuan dikarenakan kegagalan seorang
anggota kelompok berpengaruh terhadap prestasi semua anggota kelompok. Ketrampilan menjalin hubungan interpersonal dimaksudkan
adalah mengajarkan ketrampilan sosial seperti tenggang rasa, bersikap sopan
pada teman, mengkritik ide orang lain, dan berbagai ketrampilan sosial yang
lain bermanfaat intuk menjalin hubungan interpersonal yang secara sengaja
dilatihkan. Serta diharapkan memperbaiki perilaku anak yang menyimpang.
Ada berbagai alasan dipilhnya
interaksi koperatif . Menurut Johnson dan Johnson (1984: 90) hasil penelitian
menunjukkan bahwa interaksi koperatif dalam pembelajaran memiliki berbagai
pengaruh positif. Berbagai pengaruh positif tersebut diantaranya :
a. Meningkatkan prestasi belajar
b. Mendorong tumbuhya motivasi intrinsik
c. Meningkatkan perilaku penyesuaian
positif sosial
Didalam menciptakan pembelajaran
koperatif guru harus memiliki peranan yang besar. Dan berbagai peranan guru
tersebut diantaranya :
a. Merumuskan tujuan pembelajaran
b. Menentukan besarnya kelompok
c. Menentukan anak dalam kelompok
d. Merancang bahan untuk meningkatkan
saling ketergantungan
e. Menentukan tempat duduk anak
f. Menjelaskan kepada anak tentang tujuan
dan keharusan bekerja sama.
c. Interaksi kompetitif dalam kegiatan
pembelajaran
Alasan utama guru memilih pembelajaran
ini umumnya membangkitkan motivasi belajar anak. Ada dua prinsip dasar yang
sangat perlu diperhatikan oleh guru dalam menggunakan pembelajaran kompetitif
yaitu (1) kompetisi harus antarindividu atau antarkelompok dengan kemampuan
yang seimbang. (2) kompetisi dilakukan hanya untuk selingan bukan untuk
perjuangan hidup-mati.
Ada empat jenis kompetisi yang efektif
untuk mencapai tujuan belajar, yaitu (1) kompetisi antarindividu berkemampuan
seimbang. (2) kompetisi antarkelompok yang berkemampuan relatif sama. (3) kompetisi dengan standar nilai
minimun, dan (4) kompetisi dengan diri sendiri. Suasana belajar kompetitif
lebih efektif bila dikaitkan dengan tujuan belajar yang berkenaan dengan
ketrampilan motorik. Kecepatan gerak seperti berlari, berenang, atau kecepatan
bereaksi dalam olahraga bela diri dapat ditingkatkan melalui pembelajaran
kompetitif. Pembelajaran kompetitif hendaknya hanya digunakan untuk
bersenang-senang atau pelajaran yang membosankan tetapi sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari.[6]
d. Pembelajaran Individualistik dengan
modifikasi perilaku
Modifikasi perilaku (behavioral modification )adalah suatu
bentuk strategi pembelajaran yang menerapkan prinsip operant conditioning dan bertolak dari pendekatan perilaku ( behavioral approach). Prinsip operant conditioning yang mendasari
strategi modifikasi perilaku, yaitu :
a) Memberikan ulangan penguatan (reinforcement)
b) Memberikan hukuman (punishment)
c) Menghapus (extinction)
d) Membentuk dan merangkaikan (shaping and chaining)
e) Menganjurkan dan memudarkan (prompting and fading)
f) Diskriminasi dan mengotrol rangsangan ( discrimination and stimulus control)
g) Generalisasi (generalization)
[1] Mulyono, Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar
(Jakarta : PT Rineka Cipta, 2003), 7.
[3] Mulyono,
Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak
Berkesulitan Belajar (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2003), 22.
[4] Ibid,.24.
[5] Ibid,.118.
[6] Munawir,
Yusuf, Pendidikan bagi Anak dengan
Problema Belajar(Solo : PT Tiga Serangkai, 2003), 193